Merpati Tak Pernah Ingkar Janji

Ini kisah orang lain, bukan kisah saya.. hehe..

*****
Merpati tak pernah ingkar janji. Sebaliknya kumbang doyan orbal janji. Namun cintaku bukan barang loakan yang bisa dijual murah. Aku adalah seorang wanita yang memiliki harga diri. Cintaku tak terbatas waktu, penantianku adalah kesetiaanku, namun kumbang menyia-nyiakannya, dia bersanding dengan bunga yang lain....
            Hubungan itu terjalin setelah kami lulus SMU. Saat itu dia yang duluan mengungkapkan cinta. Aku menerimanya karena dia orangnya baik dan keluarganya telah aku kenal. Dia tinggal di kampung sebelah. Saat sekolah dulu kami selalu satu sekolah sekalipun tak pernah sekelas. Sebenarnya dari dulu aku naksir dia, namun aku adalah bunga yang hanya bisa menunggu kumbang datang menghampiri.
            Saat cinta bersemi, hidup ini begitu indah. Malam selalu bertabur bintang dan hari-hari aku lalui dengan penuh suka-cita. Mimpi indah aku alami, saat kami bersanding di pelaminan suci, dia menghisap maduku dengan sejuta kemesraan. Bagiku dia adalah cinta pertama dan kumbang yang aku dambakan. Aku cinta pertama baginya.
            Setahun hubungan, kami resmi tunangan. Inginnya segera menikah, Aku berharap, saat dia pergi ke tempat jauh aku bisa ikut. Namun saat hubungan berjalan dua tahun, kami belum juga menikah. Hingga akhirnya dia pergi untuk panggilan kerja ke pulau seberang. Sesuai kontrak kerja, dia akan pergi selama lima tahun.
            Saat pamitan dia menangis, dan menyalami semua keluargaku. Sementara aku yang akan ditinggal jauh oleh kekasih hanya bisa terdiam dengan hati yang berat untuk melepaskannya. Dia berjanji saat pulang nanti, segera menikah aku dan keluargaku setuju saja.
            Tinggallah kini aku dalam penantian dengan penuh rasa was-was seolah menanti sesuatu yang tidak pasti. Kadang muncul pikiran negatif, namun segera aku tepiskan. Terkadang pula mimpi buruk hingga tak sadar aku menangis, namun aku pikir itu hanya kembang tidur.
            Menanti adalah pekerjaan yang paling membosankan. Andai saja waktu itu aku memutuskan berhenti kuliah, mungkin aku akan sangat kesepian. Tapi dengan banyaknya kesibukan, membuatku terbiasa dengan rasa sepi itu. Apalagi dalam tahun pertama, sebulan dua kali dia berkirim surat. Aku pun sudah terbiasa, jika datang tukang pos pasti ada surat dari dia.
Pada Idul Fitri tahun kedua dia pulang, kami sambut dengan suka-cita. Tak lama kemudian berangkat lagi. Tahun ketiga berlalu. Tahun keempat aku rasakan komunikasi itu agak berkurang. Aku yang sering kirim surat, kadang dibalas, namun kebanyakan tak pernah dapat balasan. Tapi aku rasakan hubungan kami tetap baik.
            Pada tahun kelima, hanya dua kali dalam tahun itu dia kirim surat. Masa kontraknya berakhir, dia belum pulang juga. Keluarganya menunggu hingga akhirnya dapat kabar, dia mendapat kerja tambahan setengah tahun. Aku kecewa karena dia tidak memberitahukan kepadaku padahal seluruh keluargaku telah siap-siap menyambutnya.
            Ibuku bilang, segera saja rencanakan pernikahan setelah dia datang, tidak baik terlalu lama pacaran. Aku setuju saja. Apalagi aku anak wanita satu-satunya dan orang tua ingin segera menimang cucu dariku. Seluruh keluargaku bersiap-siap menanti kedatangan dia yang hanya sebulan lagi.
            Penyambutan rencananya dipusatkan di rumah keluarganya. Aku dan seluruh keluargaku diundang. Sementara itu yang menjemput ke terminal cukup kakak dia saja. Semua rencana indah itu begitu matang dipersiapkan. Aku sendiri telah mempersiapkan jauh-jauh hari termasuk kemungkinan dia ingin segera melangsungkan pernikahan.
            Saat waktunya tiba, aku menemukan keganjilan. Kakaknya yang menjemput dia menyarankan agar aku menunggu dirumahku saja, katanya ada kejutan. Secara mendadak aku dibawa ke rumahku, namun keluargaku tetap tinggal di sana. Aku menanti ada apa gerangan. Aku telah membayangkan dia pasti akan datang ke rumahku dengan seribu rasa rindu, sejuta rasa cinta. Pokoknya surpise.
            Tak lama kemudian, aku dikagetkan dengan suara pintu di tambrak seseorang. Ternyata yang datang ayah dan seluruh keluargaku dengan wajah merah padam. Ibuku langsung mendekapku dan menangis sejadi-jadinya. Aku yang tidak tahu duduk masalahnya hanya terdiam dengan seribu tanya. Sementara ayah dan kakak-kakakku duduk di kursi tanpa mengeluarkan satu patah kata pun. Hingga beberapa saat lamanya keadaan hening.
            Sesaat kemudian aku bertanya untuk memecah keheningan. Kakak laki-lakiku yang pertama membawaku ke ruangan tamu. Dengan terlebih dahulu meminta izin ayah untuk menjelaskan. Dia menjelaskan dengan sangat hati-hati. Lambat laun penjelasannya bikin aku bingung, sebab menyebut-nyebut agar aku melupakannya. Kakak bilang dia bukan jodoh aku.
            Di akhir pembicaraan, baru darahku naik dan tak sadarkan diri. Saat aku sadar tak kuasa menahan tangisan. Seluruh keluargaku berkumpul di kamarku dengan wajah murung. Ayah bilang bahwa dirinya merasa dihina. Laki-laki itu menurut ayah penghianat.
            Penantianku selama lima tahun ternyata sia-sia belaka. Tanpa sepengetahuanku dan keluarganya, dia menikah di tempat kerja dengan bawahannya. Menurut pengakuannya pernikahan itu telah berlangsung dua tahun. Kini dia membawa dua orang anak. Anak yang kedua masih bayi. Ternyata tambahan waktu enam bulan bukan ada tambahan kerja, melainkan menunggu anak kedua lahir.
            Sehari kemudian keluarga dia datang meminta maaf bahwa semuanya di luar dugaan, namun ayahku yang masih emosi tetap belum menerima kenyataan ini. Pasalnya jika dia tidak serius bilang saja sejak dulu, aku tentu akan dinikahkan dengan seorang laki-laki yang menurut bapak jauh lebih baik dari segi ekonomi dan agama daripada laki-laki pengkhianat itu.
            Setahun berlalu, aku baru melihat dia keluar rumah menampakkan diri. Dalam hatiku tidak ada lagi kata-kata kecuali penyesalan telah mengenal orang itu. Pengalaman ini aku catat dalam setiap relung waktu bahwa  cinta memang tidak harus bersatu. Lima tahun lamanya aku menanti, yang aku rasakan hanya kepedihan. Andai saja waktu bisa berputar ke belakang ingin rasanya mengembalikan cinta ini biar aku tak menderita seperti ini.
****

Dari buku Romantika Remaja, Abu Al-Ghifari, Penerbit Mujahid Press

Post a Comment

Previous Post Next Post