oleh Nurul F Huda
A.A
Navis: "...sumber penggalian untuk cerita yang saya tulis adalah
lingkungan hidup saya... yakni tentang orang-orang biasa pula, tentang
pikirannya, tentang tingkah lakunya. Bahan-bahan itu saya renungkan... bila
sudah dapat polanya saya menulis." Putu Wijaya: "... cerita-cerita
itu merupakan pengembangan peristiwa-peristiwa yang ada waktu itu..."
Arswendo Atmowiloto: "Begitulah proses terjadinya cerpen saya. Dari
pengalaman langsung, atau mendengar, lantas disambung atau diaduk-aduk."
Fiksi adalah cerita rekaan yang memang terlahir dari proses imajinatif. Tetapi
memisahkan fiksi dari kehidupan adalah sesuatu yang nyaris mustahil. Abrams
mengatakan bahwa cerita adalah cermin kehidupan. Karena itu lahir teori Mimetik
dan sekarang ini Sosiologi serta Antropologi Sastra. Tapi tulisan ini bukan
ingin membahas hal tersebut. Terlalu kecil ruangnya dan juga terlalu
memusingkan. Jadi seperti biasa saya akan "ngecap" tentang apa yang saya
pahami tentang cerita. Cerita bukan lahir tiba-tiba. Hampir semua penulis orang
yang hobby membaca, mengamati peristiwa (entah langsung atau via film),
ngobrol, dan... berpetualang.
Satu
hal yang kadang saya iri karena saya perempuan (masih alone lagi), saya tidak
bisa seenaknya "keluyuran". Padahal kehidupan adalah sumber inspirasi
yang tiada habisnya. Terlebih bila kehidupan itu "tidak biasa". Saya
iri dengan Putu yang enak saja bergabung dengan sirkus keliling di Jepang. Atau
Arswendo yang bisa seenaknya "menaruh badan". Tapi toh masih banyak,
banyak sekali malah, sisi kehidupan yang bisa diangkat oleh saya (seharusnya).
Ahmad Tohari yang "hanya" tinggal di desa kecil di Purwokerto masih
bisa menulis dengan bagus dan fokus. Jadi... saya harus membuka mata lebih
lebar dan merenung lebih banyak. BUMBATA. So... mulailah dengan itu. Apabila
cerita kita begitu dekat untuk dirasakan Insyaallah pesan akan lebih mudah
dipahami pembaca. Yah, kecuali kita ingin cerita kita hanya menjadi konsumsi
"elite" sastrawan... itu lain soal. Dosen saya mengatakan, membaca
cerita bukan hanya menghibur tapi juga mencari solusi hidup. Bayangkan!
Muhammad Diponegoro menekankan pentingnya real dalam cerita. Tidak lain supaya
cerita (yang diharapkan membawa pencerahan) tidak berjarak dengan pembacanya.
Mengangkat tema keseharian, tokoh-tokoh yang hadir seakan memang wakil tokoh
kehidupan, bahkan setting yang juga nyata. Kenapa? Agar pembaca bisa merasakan,
yah itu juga saya. Begitu. Dia merasa menjadi bagian cerita. Dia tidak merasa
bahwa itu sekedar "dongeng" negeri antah berantah. Redaksi Annida
mengatakan cerpen-cerpen saya "menubuh". Dekat dengan pengalaman yang
mereka alami. Bukan cerita yang mengawang. Ada yang mengatakan bertema berat
tapi berbahasa ringan. BAHASANNYA BERAT BAHASANYA RINGAN. Ada yang mengatakan
funky, pop bahkan mungkin... picisan. Yah, whatever lah. Saya hanya mencoba
mengeluarkan apa yang saya tangkap dengan indra saya dan saya olah dalam
pikiran serta rasakan dalam perasaan. Masalah di kehidupan ini terlalu banyak,
terlalu kompleks. Rasanya sayang membiarkannya menjadi pikiran beberapa orang
hanya karena bahasa yang mengawang. Tapi saya tidak akan pernah menyalahkan
kalau ada orang yang merasa lebih nyaman dengan kiasan, simbol, dan sejenisnya.
Semiotis. Itu pilihan.
Tags:
Belajar Menulis