Tak Pernah Berhenti Belajar



 

Oleh Mohammad Fauzil Adhim

     Menulis bukanlah bermain kata-kata. Susunan kalimat yang indah bisa sangat membosankan kalau tidak memiliki makna yang kuat. Kebosanan juga bisa muncul karena sebuah karya tidak menawarkan kebaruan, greget dan gagasan yang lebih segar daripada karya-karya sebelumnya. Seorang penulis yang sebelumnya melahirkan karya best-seller, bisa ditinggalkan begitu saja tanpa dikenang karena ia tenggelam dengan ide yang itu-itu saja. Salah satu sebab timbulnya kebekuan dan kejumudan adalah berhentinya proses pembelajaran pada seorang penulis. Masalah terakhir ini sering saya jumpai pada banyak penulis kita. Mereka memiliki bakat yang luar biasa, tetapi semangat belajarnya amat mengenaskan. Mereka memiliki imajinasi yang dahsyat, tetapi tidak diiringi dengan kemampuan menuangkan gagasan yang semakin baik, tidak juga disertai pengetahuan yang matang mengenai apa yang ia tulis. Sebagai akibat, kadang saya temukan seorang Cerpenis menggarap cerita dengan latar belakang Ambon, tetapi yang terasa adalah suasana Jawa. Atau ada yang mengambil setting luar negeri, tetapi tanpa pengetahuan tentang wilayah tersebut berikut suasana antropologis dan sosiologisnya. Sekali lagi, kerapkali ini semua terjadi karena penulisnya tidak belajar. Ia hanya mengandalkan pengetahuannya yang sangat sedikit dan cukup puas dengan itu.

Saya teringat dengan Jack Trout, seorang pakar pemasaran. Ia pernah menulis buku yang sangat berpengaruh, Differentiate or Die. Berbeda atau Mati. Pemasar akan segera ditinggal pelanggan apabila ia tidak mampu melakukan pembedaan, sehingga ia berbeda dari yang lain. Tetapi hanya sekedar berbeda semata-mata karena ingin berbeda, akan tidak ada artinya. Kalaupun sempat menjadi perbincangan, sesaat akan segera redup kembali. Ini berarti bahwa berbeda bukan semata karena ingin berbeda. Kita melahirkan tulisan dengan gaya yang sangat khas dan pilihan kata yang sangat berbeda dengan umumnya penulis bukan semata-mata karena ingin berbeda, melainkan hasil dari proses belajar terus-menerus. Kesediaan belajar tanpa henti akan melahirkan kemampuan inovasi. Kesediaan untuk belajar terus-menerus juga mendorong kita mampu menuangkan ide secara lebih cerdas, memikat dan mengalir. Kekayaan cara pengungkapan ide atau gagasan muncul karena kepekaan dan kecerdasan kita terus- menerus terasah melalui pembelajaran yang kita lakukan secara sengaja. Jika belajar tanpa henti merupakan kunci untuk melahirkan karya-karya yang senantiasa segar dan mengesankan, maka pujian berlebih merupakan pembunuh kreativitas yang paling sadis. Seorang penulis yang tiba- tiba melejit, kecemerlangannya dapat hilang secara pasti karena ia tenggelam dalam pujian. Setiap kali mau menulis, ia selalu terperangkap dalam pujian yang telah diterimanya secara bertubi-tubi. Ia ingin melahirkan tulisan yang serupa, sehingga ia justru kehilangan nalar inovatifnya. Padahal kalau ia tidak tenggelam dalam pujian, ia akan mampu mencapai kemampuan inovasi yang memukau.


     Lalu, apa yang saja harus dipelajari oleh seorang penulis? Sekurang- kurangnya tiga hal. Pertama¸ilmu-ilmu yang dapat menguatkan jiwa, menajamkan hati, mengasah kepekaan dan membimbing ruhani. Ini yang harus selalu ada sebab semuanya bermula dari jiwa. Kalau kita ingin melakukan perubahan, dari jiwalah kita memulai. Allah Ta'ala berfirman, "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa-apa yang ada pada suatu kaum sehingga mereka mengubah apa-apa yang ada pada jiwa mereka." Pada ayat ini Allah menunjuk pada jiwa sebagai kekuatan perubahan. Khusus berkenaan dengan kekuatan jiwa dan spiritualitas kita saat menulis, silakan simak kembali Spiritual Writing (baca Annida No. 3/XII)
Kedua, ilmu-ilmu yang berkait erat dengan apa yang akan kita tulis. Jika yang pertama lebih banyak berkait dengan kebangkitan motivasi, komitmen dan missi yang menggerakkan kita untuk menulis, maka yang kedua ini berkait langsung dengan apa yang kita tulis. Meskipun kita memiliki kekuatan jiwa yang besar dalam menulis, tetapi tanpa pengetahuan yang memadai terhadap apa yang akan ditulis, maka kita hanya akan mampu melahirkan tulisan yang dangkal, kaku dan membosankan. Saya teringat dengan seorang teman. Dia kuliah di jurusan Geologi Fakultas Teknik UGM. Sama-sama jalan ke tempat-tempat yang berbatu, akan lain cerita yang saya bawa dengan cerita yang bisa diungkapkan oleh teman saya. Ia akan mampu mengungkapkan sangat banyak hal hanya dari sebongkah batu. Kenapa? Karena ia belajar sangat banyak tentang bebatuan. Ia tak pernah berhenti belajar. Adapun saya, nyaris tak ada yang saya ketahui tentang batu -meskipun saya merasa tahu--sehingga sulit bagi saya untuk bercerita banyak secara padat dan mengalir. Sebagaimana kesulitan saya bercerita tentang batu, kamu juga akan mengalami hal yang sama jika tidak memiliki cukup banyak pengetahuan. Bisa saja kamu bercerita tentang Swedia, atau menggunakan setting negara Swedia, tetapi tanpa pengetahuan yang memadai tulisanmu akan dangkal dan kering. Dari sebagian cerita yang pernah saya baca, terasa betul betapa penulisnya kurang melakukan studi yang mendalam. Hal serupa terjadi ketika seorang penulis mencoba mencoba mengangkat tema-tema futuristik, memasuki zaman digital (digitalized age), tampak sekali bagaimana penulis kurang memiliki pengetahuan tentang piranti-piranti teknologi yang diceritakan. Meskipun memang benar- benar khayal, tetapi cerita sebenarnya tetap berpijak pada teknologi yang sudah berkembang sekarang.


Ketiga, banyaklah belajar ilmu menulis, termasuk psikologi komunikasi. Al-Qur'an memberi pelajaran kepada kita bagaimana seharusnya berkomunikasi sesuai dengan orang yang kita hadapi. Gunakanlah qaulan kariman saat berbicara dengan orangtua, qaulan maysuran saat berkomunikasi dengan orang awam dan masyarakat luas, qaulan ma'rufan saat berbicara tentang masalah-masalah rumah-tangga, serta masih banyak lagi bentuk qaulan lainnya. Semua itu kita perlukan agar kita dapat menyampaikan secara efektif, gamblang (balaghul mubin), hidup, menyentuh dan menggerakkan jiwa. Kita juga diseru agar berbicara sesuai dengan bahasa kaum kita, yakni sesuai dengan audiens saat berbicara dan sasaran pembaca saat menulis. Nah, bagaimana kita bisa menggunakan pendekatan komunikasi yang tepat kalau kita sendiri tidak bagaimana melakukannya? Sayangnya, penulis- penulis kita banyak yang masih bangga menjadi pemalas. Mereka merasa hebat kalau hanya mengandalkan kemampuan yang "sudah ada pada dirinya". Mereka lupa bahwa apa yang dianggap "sudah ada pada dirinya" sesungguhnya juga merupakan hasil pembelajaran yang diserapnya dari rumah dan sekolah, termasuk play-group dan TK. Saya teringat dengan Albert Camus. Soal produktivitas menulis buku, boleh jadi ia kalah dengan kita. Tetapi karyanya selalu menjadi perbincangan. Salah satu kunci keberhasilan Camus adalah, ia selalu merevisi berulang-ulang setiap kali menulis. Ia terus belajar. Bila dari hasil belajarnya menemukan ada yang kurang kuat atau kurang hidup dari tulisannya, ia akan menyisihkan waktu, khusus untuk memperbaiki tulisannya. Inilah yang menyebabkan tulisannya banyak diburu orang. Saya sendiri bukan tipe penulis seperti Albert Camus. Biasanya saya menulis sekali jadi. Saya menulis dan tidak perbaiki lagi. Kalau kurang bagus, saya lebih suka menyimpannya. Suatu saat ia bisa muncul lagi dalam bentuk ide yang lebih segar dan matang. Akan tetapi dari Albert Camus ada pelajaran yang bisa kita ambil: tak ada kata berhenti untuk belajar. Ya, jangan pernah berhenti belajar. Kata Rasulullah Saw., "Tuntutlah ilmu semenjak dalam buaian sampai ke liang lahat." Nah, sudah siap belajar?

Post a Comment

Previous Post Next Post